Yusmichad Yusdja, Staf peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial dan ekonomi Pertanian IPB
Ratusan tahun yang lalu, manusia hanya mengenal 9 lambang
bilangan yakni 1, 2, 2, 3, 5, 6, 7, 8, dan 9. Kemudian, datang angka 0,
sehingga jumlah lambang bilangan menjadi 10 buah. Tidak diketahui siapa
pencipta bilangan 0, bukti sejarah hanya memperlihatkan bahwa bilangan 0
ditemukan pertama kali dalam zaman Mesir kuno. Waktu itu bilangan nol hanya
sebagai lambang. Dalam zaman modern, angka nol digunakan tidak saja sebagai
lambang, tetapi juga sebagai bilangan yang turut serta dalam operasi
matematika. Kini, penggunaan bilangan nol telah menyusup jauh ke dalam sendi
kehidupan manusia. Sistem berhitung tidak mungkin lagi mengabaikan kehadiran
bilangan nol, sekalipun bilangan nol itu membuat kekacauan logika. Mari kita
lihat.
Nol, penyebab komputer
macet
Pelajaran tentang bilangan nol, dari sejak zaman dahulu
sampai sekarang selalu menimbulkan kebingungan bagi para pelajar dan mahasiswa,
bahkan masyarakat pengguna. Mengapa? Bukankah bilangan nol itu mewakili sesuatu
yang tidak ada dan yang tidak ada itu ada, yakni nol. Siapa yang tidak bingung?
Tiap kali bilangan nol muncul dalam pelajaran Matematika selalu ada ide yang aneh. Seperti ide jika
sesuatu yang ada dikalikan dengan 0 maka menjadi tidak ada. Mungkinkah 5*0
menjadi tidak ada? (* adalah perkalian). Ide ini membuat orang frustrasi.
Apakah nol ahli sulap?
Lebih parah lagi-tentu menambah bingung-mengapa 5+0=5 dan
5*0=5 juga? Memang demikian aturannya, karena nol dalam perkalian merupakan
bilangan identitas yang sama dengan 1. Jadi 5*0=5*1. Tetapi, benar juga bahwa
5*0=0. Waw. Bagaimana dengan 5o=1, tetapi 50o=1 juga? Ya,
sudahlah. Aturan lain tentang nol yang juga misterius adalah bahwa suatu
bilangan jika dibagi nol tidak didefinisikan. Maksudnya, bilangan berapa pun
yang tidak bisa dibagi dengan nol. Komputer yang canggih bagaimana pun akan
mati mendadak jika tiba-tiba bertemu dengan pembagi angka nol. Komputer memang
diperintahkan berhenti berpikir jika bertemu sang divisor nol.
Bilangan nol: tunawisma
Bilangan disusun berdasarkan hierarki menurut satu garis
lurus. Pada titik awal adalah bilangan nol, kemudian bilangan 1, 2, dan
seterusnya. Bilangan yang lebih besar di sebelah kanan dan bilangan yang lebih
kecil di sebelah kiri. Semakin jauh ke kanan akan semakin besar bilangan itu.
Berdasarkan derajat hierarki (dan birokrasi bilangan), seseorang jika berjalan
dari titik 0 terus-menerus menuju angka yang lebih besar ke kanan akan sampai
pada bilangan yang tidak terhingga. Tetapi, mungkin juga orang itu sampai pada
titik 0 kembali. Bukankah dunia ini bulat? Mungkinkah? Bukankah Columbus
mengatakan bahwa kalau ia berlayar terus-menerus ia akan sampai kembali ke
Eropa?
Lain lagi. Jika seseorang berangkat dari nol, ia tidak
mungkin sampai ke bilangan 4 tanpa melewati terlebih dahulu bilangan 1, 2, dan
3. Tetapi, yang lebih aneh adalah pertanyaan mungkinkan seseorang bisa
berangkat dari titik nol? Jelas tidak bisa, karena bukankah titik nol sesuatu
titik yang tidak ada? Aneh dan sulit dipercaya? Mari kita lihat lebih jauh.
Jika di antara dua bilangan atau antara dua buah titik
terdapat sebuah ruas. Setiap bilangan mempunyai sebuah ruas. Jika ruas ini
dipotong-potong kemudian titik lingkaran hitam dipindahkan ke tengah-tengah
ruas, ternyata bilangan 0 tidak mempunyai ruas. Jadi, bilangan nol berada di
awang-awang. Bilangan nol tidak mempunyai tempat tinggal alias tunawisma.
Itulah sebabnya, mengapa bilangan nol harus menempel pada bilangan lain,
misalnya, pada angka 1 membentuk bilangan 10, 100, 109, 10.403 dan sebagainya.
Jadi, seseorang tidak pernah bisa berangkat dari angka nol menuju angka 4. Kita
harus berangkat dari angka 1.
Mudah, tetapi salah
Guru meminta Ani menggambarkan sebuah garis geometrik
dari persamaan 3x+7y = 25. Ani berpikir bahwa untuk mendapatkan garis itu
diperlukan dua buah titik dari ujung ke ujung. Tetapi, setelah
berhitung-hitung, ternyata cuma ada satu titik yang dilewati garis itu, yakni
titik A(6, 1), untuk x=6 dan y=1. Sehingga Ani tidak bisa membuat garis itu.
Sang guru mengingatkan supaya menggunakan bilangan nol. Ya, itulah jalan
keluarnya. Pertama, berikan y=0 diperoleh x=(25-0)/3=8 (dibulatkan), merupakan
titik pertama, B(8,0). Selanjutnya berikan x=0 diperoleh y=(25-3.0)/7=4
(dibulatkan), merupakan titik kedua C(0,4). Garis BC, adalah garis yang dicari.
Namun, betapa kecewanya sang guru, karena garis itu tidak melalui titik A.
Jadi, garis BC itu salah.
Ani membela diri bahwa kesalahan itu sangat kecil dan
bisa diabaikan. Guru menyatakan bahwa bukan kecil besarnya kesalahan, tetapi
manakah yang benar? Bukankah garis BC itu dapat dibuat melalui titik A? Kata
guru, gunakan bilangan nol dengan cara yang benar. Bagaimana kita harus
membantu Ani membuat garis yang benar itu? Mudah, kata konsultan Matematika.
Mula-mula nilai 25 dalam 3x+7y harus diganti dengan hasil perkalian 3 dan 7
sehingga diperoleh 3x+7y=21.
Selanjutnya, dalam persamaan yang baru, berikan y=0
diperoleh x=21/3=7 (tanpa pembulatan) itulah titik pertama P(6,1). Kemudian
berikan nilai x=0 diperoleh y=21/7 = 3 (tanpa pembulatan), itulah titik kedua
Q(0, 3). Garis PQ adalah garis yang sejajar dengan garis yang dicari, yakni
3x+7y=25. Melalui titik A tarik garis sejajar dengan PQ diperoleh garis P1Q1.
Nah, begitulah. Sang murid telah menemukan garis yang benar berkat bantuan
bilangan nol.
Akan tetapi, sang guru masih sangat kecewa karena sebenarnya
tidak ada satu garis pun yang benar. Bukankah dalam persamaan 3x1+7x2=25 hanya
ada satu titik penyelesaian yakni titik A, yang berarti persamaan 3x1+7x2 itu
hanya berbentuk sebuah titik? Bahkan pada persamaan 3x1+7x2=21 tidak ada sebuah
titik pun yang berada dalam garis PQ. Oleh karena itu, garis PQ dalam sistem
bilangan bulat, sebenarnya tidak ada. Aneh, bilangan nol telah menipu kita.
Begitulah kenyataannya, sebuah persamaan tidak selalu berbentuk sebuah garis.
Bergerak, tetapi diam
Bilangan tidak hanya terdiri atas bilangan bulat, tetapi
juga ada bilangan desimal antara lain dari 0,1; 0,01; 0,001; dan seterusnya
sekuat-kuat kita bisa menyebutnya sampai sedemikian kecilnya. Karena sangat
kecil tidak bisa lagi disebut atau tidak terhingga dan pada akhirnya dianggap
nol saja. Tetapi, ide ini ternyata sempat membingungkan karena jika bilangan
tidak terhingga kecilnya dianggap nol maka berarti nol adalah bilangan
terkecil? Padahal, nol mewakili sesuatu yang tidak ada? Waw. Begitulah.
Berdasarkan konsep bilangan desimal dan kontinu, maka
garis bilangan yang kita pakai ternyata tidak sesederhana itu karena antara dua
bilangan selalu ada bilangan ke tiga. Jika seseorang melompat dari bilangan 1
ke bilangan 2, tetapi dengan syarat harus melompati terlebih dahulu ke bilangan
desimal yang terdekat, bisakah? Berapakah bilangan desimal terdekat sebelum
sampai ke bilangan 2? Bisa saja angka 1/2. Tetapi, anda tidak boleh melompati
ke angka 1/2 karena masih ada bilangan yang lebih kecil, yakni 1/4. Seterusnya
selalu ada bilangan yang lebih dekat... yakni 0,1 lalu ada 0,01, 0,001, ...,
0,000001. demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya bilangan yang paling
dekat dengan angka 1 adalah bilangan yang demikian kecilnya sehingga dianggap
saja nol. Karena bilangan terdekat adalah nol alias tidak ada, maka Anda tidak
pernah bisa melompat ke bilangan 2?
Disadur dari: http://www.duniaesai.com/sains/sains16.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar